Dua pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden, Kamis (19/10/2023) telah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum. Mereka adalah pasangan Ganjar Pranowo/Prof.M. Mahfud (Netizen menyeutnya Go Fud) dan pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Amin). Sepertinya, tinggal Prabowo yang belum mendaftar.
Nah, mengapa Prabowo begitu lambat memilih pendamping, meskipun hasil-hasil survei menyatakan, berpasangan dengan nama-nama, seperti Khofifah, Eric Tohir ataupun Gibran, elektabilitasnya tetep paling atas dibanding dua calon lainnya, Go Fud dan Amin.
Tarik Menarik Partai
Simak saja hasil survey LSI, pada April lalu. Dalam situsnya, LSI merilis hasil surveinya. Di situ, LSI menyimulasikan beberapa kondisi pencapresan, sebagai calon tungal dan berpasangan dengan sejumlah cawapres potensial. Hasilnya, Prabowo mau disandingkan salah satu dari tiga nama, yaitu Prabowo, Ganjar, dan Anies, elektabiitas Prabowo selalu menduduki tempat tertinggi.
Demikian pula, ketika Prabowo disimulasikan dengan sejumlah kandidat cawapres melawan Gofud dan Amien, elektabilitasnya juga menempati posisi tertinggi. Lalu, mengapa Prabowo mesti bimbang? Patut diduga, penyebabnya adalah proses Tarik menarik antar partai pendukung Koalisi Indonesia Maju sehingga merasa perlu untuk mendapat petuah dari king maker yang tengah melawat ke luar negeri.
Golkar sebagai partai pendukung terbesar, pasti mengajukan ketua umumnya, Airlangga Hartarto sebagai kandidat Cawapres. Sayangnya, nama ini tidak populer di mata rakyat. Hasil survei menunjukkan, elektabilitasnya selalu jeblok. Hari ini, Sabtu (21/10/2023) terjawab sudah, Golkar mengalah, dan memberikan jalan, bahkan mengusulkan Gibran sebagai pendamping Prabowo.
Partai pendukung kedua, PAN, meskipun suara/reprresentasi kursi di parlemen paling kecil diantara partai pendukung lainnya, tapi punya jago yang punya elektabilitas jauh lebih baik dari Airlangga. Eric Tohir, Namanya. Lalu, ada pendatang baru, Demokrat yang turut bergabung ke Koalisi Indonesia Maju setelah kecewa berat terhadap Koalisi Perubahan yang menggeser bakal Cawapres Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), digantikan Muhaimin Iskandar. Karena berabungnya paling akhir, bargaining demokrat untuk memaksakan AHY sebagai Cawapres Prabowo otomatis juga lemah, meski besar kemungkinan , Demokrat juga tetap berusaha mengusulkan AHY menjadi cawapres.
Nah, terakhir, ada nama Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, yang kini menjabat sebagai walikota Solo. Gibran selamat dari adangan persyaratan batas minimal usia Capres/Cawapres minimal 40 tahun berkat putusan MK (Kebetulan Ketua MK sekarang, Anwar Usman adalah Paman Gibran) yang memutuskan memberikan ketentuan tambahan, bahwa kepala daerah yang sedang menjabat atau pernah menjabat kepala daerah yang dipilih melalui proses Pemilu diperbolehkan menjadi Capres/Cawapres. Maka, Prabowo pun pasti memperhatikannya. Selain karena berharap dari Jokowi efek, sosok muda ini bisa diharapkan untuk menarik suara kawula muda Gen Z, sekaligus menggerogoti basis suara Go Fud di Jawa Tengah.
Hitung-hitungan para pengamat politik, suara Prabowo sangat kuat di Jawa Barat. Oleh karena itu, dia harus bisa menarik suara dari Jawa Tengah dan Jawa Timur mengingat pemilih di Jawa ini mencapai 40-an persen dari total pemilih tetap Pemilu 2024. Masih ingat? Kegagalan Prabowo dalam Pemilu 2019 lalu adalah akibat gagal total di Jawa Timur, yang mayoritas pemilihnya mencolos Jokowi/Makruf.
Berpikir Negarawan
Berdasarkan survei, Prabowo berpasangan dengan Eric Tohir atau Gibran, hasilnya sama saja, mampu meraih suara tertinggi disbanding Gofud dan Amin. Bila nantinya diharuskan melaui proses dua putaran, Prabowo mempunyai posisi yang paling diuntungkan. Andai Amin tersisih, suaranya akan cenderung berpindah ke Prabowo. Demikian juga, bila GoFud yang tersisih, suara mereka juga berpotensi, bahkan kemungkinan besar beralih ke Prabowo. Tetapi, dunia survei pada umumnya memprediksi Prabowo dan GoFud lah yang berpeluang besar maju ke babak kedua.
Patut dicatat, survei-survei itu, tidak berlaku selamanya. Karena, survei tersebut mengandaikan bila Pemilu dilaksanakan pada waktu pelaksanaan survei. Jadi, kemungkinan besar, hasil survey itu bisa berubah karena dinamika politik selalu berubah dengan cepat. Ingat kasus Ahok di Pilkada DKI 2019? Awalnya semua surveI menyatakan Ahok bakal jadi pemenangnya, namun pada akhirnya justeru Ahok yang terjengkang gara-gara, entah keseleo lidah atau salah ucap, terkait surat Al Maidah.
Dari berbagai prhitungan itu, Prabowo mesti berpikir yang lebih besar, yaitu berpikir demi bangsa dan negara. Sebaiknya, Prabowo memilih pendamping yang mempunyai jam terbang dan pengalaman yang mampu membantu dalam menghadapi tantangan masa depan Indonesia, bukan wakil presiden yang sekadar pelengkap. Di tambah lagi, dia harus negarawan dan pekerja keras. (**)
Budi Laksono